Cara Guru Mengajar Daring Cuma Jadi Tukang Beri Tugas Dikritik Keras
Cari Berita

Advertisement

Cara Guru Mengajar Daring Cuma Jadi Tukang Beri Tugas Dikritik Keras

Profesi Guru
Selasa, 31 Agustus 2021

Cara Guru Mengajar Daring Cuma Jadi Tukang Beri Tugas Dikritik Keras
Siswa belajar Daring


Cara Guru Mengajar Daring Cuma Jadi Tukang Beri Tugas Dikritik Keras


LMND Mendesak Sentralisasi Bahan Ajar


Pandemi Covid-19 nyaris melumpuhkan semua lini. Sebut saja persoalan kesehatan, perekonomian, pendidikan dan lainnya. Untuk persoalan pemulihan kesehatan dan perekonomian memang sering menjadi wacana pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Sejumlah konsep pun sudah dipersiapkan.

Lalu bagaimana dengan sektor lain, seperti pendidikan yang juga tak kalah pentingnya? Hal ini tampaknya tak redup dari kritik publik.

Padahal, metode pengajaran secara daring yang tanpa inovasi membuat kualitas pendidikan bisa menurun. Banyak faktor penyebabnya, salah satunya adalah soal materi atau bahan ajar sebagai acuan dasar guru dalam mengajar.

Dilansir dari laman radarbali.id, Hal ini diungkapkan Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Bali, Jonathan Kevin, yang kami lansir dari radarbali.id di Denpasar pada Senin (30/8). Ia mendapatkan banyak cerita bagaimana metode belajar daring yang lebih condong pada pemberian tugas oleh guru kepada murid. Ia pun mengkritik keras kondisi ini.

"Saya melihat persoalan ini muncul dari keluarga dekat saya dan bahkan menjadi persoalan masyarakat luas. Ini sudah dua tahun pandemi, tapi tidak ada inisiatif dalam penanganan pandemi untuk sektor pendidikan," ujarnya.

Kevin memang tak menampik bahwa pola belajar dengan daring adalah satu-satunya pintu untuk proses belajar saat pandemi. Namun, solusi ini ternyata juga memiliki masalah lain.

Tidak semua guru, bahkan sebagian besar guru masih gagap dalam pembelajaran daring. Padahal, pembelajaran daring sudah dua tahun lamanya. Seperti yang dia contohnya sebelumnya, tidak ada inovasi dari para guru dalam transfer pengetahuan.

Apalagi bagi guru yang berusia cukup tua, metode daring seperti ajang ujian. Yakni guru hanya tukang memberi tugas, kemudian hasil kerjanya dikumpulkan bisa setiap hari atau seminggu sekali. 

"Salah satunya yang masalah adalah dari segi materi. Guru-guru dibiarkan lepas. Guru-guru dibebaskan untuk membuat materi. Acuannya apa, pedoman apa? Dari kenyataan di lapangan saya melihat guru cuma jadi tukang memberi tugas-tugas saja," ujar Kevin.

Untuk itu, Kevin berharap persoalan ini dapat dijawab dengan membuat sentralisasi untuk pembuatan materi bahan ajar yang interaktif. Bisa berupa video dan lainnya. Tujuannya, agar guru-guru tidak diberikan beban yang besar. Apalagi kemampuan setiap guru berbeda. belum lagi faktor usia yang tak jarang ditemui guru gaptek (gagap teknologi)

"Guru-guru ini harus memproduksi materi kemudian harus menyampaikan juga ke murid-muridnya. Saran saya yang buat materi dari pemerintah saja dan guru-guru tinggal memberikannya ke murid," sarannya.

Ada tiga pola yang ditawarkan oleh Kevin berdasar hasil diskusi dengan rekan-rekannya. Ia sebut tiga pola ini bernama Tri Pramana. Yang dalam bahasa sansekerta berarti cara mendapat pengetahuan secara benar.

Cara yang pertama adalah dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan. Perusahaan ini nanti akan memproduksi materi pembelajaran daring yang interaktif untuk satu tahun.

Setelah memproduksi materi pembelajaran dalam satu tahun, maka tenaga pengajar atau guru berperan untuk mendistribusikan materi pembelajaran tersebut kepada siswa.

Cara kedua adalah sayembara. Maksudnya pemerintah dan dinas terkait membuat sayembara untuk membuat materi tersebut. Polanya sama dengan cara pertama namun bedanya yang kedua ini terbuka untuk individu siapa saja (tidak harus perusahaan).

Cara ketiga adalah membuat tim khusus. Artinya, pemerintah dan dinas terkait membentuk tim khusus yang bertugas untuk menyusun dan memproduksi materi pembelajaran online ini. Tim khusus ini bisa terdiri dari tenaga pengajar ataupun individu yang profesional dalam bidang IT.

"Melihat kondisi seperti ini, Tim Khusus untuk memungkinkan tercepat untuk menyelamatkan pendidikan kita. Tapi terserah mau pakai cara yang mana saja. Intinya, pemerintah harus menaruh perhatian lebih terkait dunia pendidikan saat pandemi. Ini penting agar kualitas pendidikan tidak turun," pungkasnya.

Persoalan pendidikan di tengah pandemi memang bukan isapan jempol belaka. Sebab, menurunnya kualitas pendidikan juga dirasakan oleh orang tua siswa. Salah satunya, Erwynd Arkian.

Erwynd yang memiliki anak yang duduk dikelas 4 dan 5 SD ini menyampaikan kendala saat penerapan metode daring bagi para siswa, sungguh sangat tidak efektif. Seperti dalam hal membimbing anak dalam pembelajaran dan baginya tidak semua wali mampu berperan seperti guru.

"Banyak hal yang terjadi saat sistem pembelajaran online, apa benar tugas sekolah di buat oleh siswa itu sendiri? Atau bisa jadi ada wali yang mengerjakan tugas anaknya, hal itu bisa menjadi salah satu faktor yang penyebab merosotnya pendidikan di masa pandemi ini," ujarnya pada Senin (30/8).

"Tugas sekolah yang banyak pun bisa mempengaruhi mental anak, berbeda saat mereka bersekolah," lanjutnya.

Selain persoalan belajar daring, Erwynd juga melihat selama ini, proses pembelajaran dengan metode daring menjadi beban buat para wali yang terkena dampak pandemi.

Tidak semua orang tua dalam hal ini bisa membeli kuota, namun dari pihak sekolah pun sudah mengambil data nomor hp untuk mendapatkan bantuan kuota, akan tetapi sampai saat ini, program tersebut belum juga terlaksana.

"Dengan metode daring seperti ini, sejujurnya sungguh sangat berat bagi para orang tua murid. Harga paket internet pun lebih malah dari beras 1 kilogram," pungkasnya.

Hal senada diakui Yulia. Ibu rumah tangga yang memiliki dua anak kelas 3 dan 5 ini juga sering keteteran ketika harus mendampingi anak-anak belajar dan mengerjakan tugas. Sebab, setiap hari kedua anaknya mendapat tugas untuk membaca dan mengerjakan tugas yang jumlahnya tidak sedikit. Bisa Mencapai 10 halaman per hari. Itu belum termasuk mengerjakan soal-soal di LKS (lembar kegiatan siswa).

Setiap sepekan sekali, tugas-tugas itu dikumpulkan ke sekolah. Dia pun melihat, guru enggan repot untuk membuat bahan ajar interaktif yang lebih memudahkan dan menyenangkan bagi belajar siswa. Yang terjadi, ketika guru terus memborbardir dengan tugas, anaklah yang berhadapan dengan orang tua. Tak jarang terjadi keributan antara orang tua dan anak karena tugas-tugas ini.

"Saya yang ibu rumah tangga saja keteteran. Bagaimana bagi anak yang kedua orang tuanya bekerja, apalagi di tengah pandemi susah cari penghasilan?" tandas Yulia.

(rb/ara/yor/JPR)
sumber: https://radarbali.jawapos.com/read/2021/08/31/286160/cara-guru-mengajar-daring-cuma-jadi-tukang-beri-tugas-dikritik-keras