Nasib Guru Honorer, Dijanjikan Kesejahteraan Tapi Harus Punya NUPTK
Cari Berita

Advertisement

Nasib Guru Honorer, Dijanjikan Kesejahteraan Tapi Harus Punya NUPTK

Profesi Guru
Minggu, 16 Februari 2020

Nasib Guru Honorer, Dijanjikan Kesejahteraan Tapi Harus Punya NUPTK
Guru Honorer

Nasib Guru Honorer, Dijanjikan Kesejahteraan Tapi Harus Punya NUPTK


Profesiguru.org - Awal tahun 2020, pelaku pendidikan khususnya guru dengan status honorer diresahkan dengan berbagai pemberitaan yang menyebutkan 3 syarat utama Pembayaran Gaji Honorer yang bersumber dari dana BOS yakni, guru terdaftar di dapodik, memiliki NUPTK, dan belum memiliki sertifikat pendidik.

Dari ketiga syarat tersebut, kewajiban memiliki Nomor Unik Pendidik Tenaga Kependidikan (NUPTK) menjadi sorotan utama. Mengapa? karena dari sekian banyak guru honorer yang mengabdi baik di sekolah negeri maupun swasta, belum semuanya memiliki NUPTK.

Penulis mencatat ada tiga kendala utama yang membuat guru honorer belum memiliki NUPTK walaupun sudah resmi terdaftar di dapodik sekolah.

Pertama, berdasarkan pengalaman penulis sebagai operator dapodik, kepengurusan NUPTK melalui Aplikasi Verval GTK pada tahun – tahun kemarin dirasa lamban karena harus melalui serangkaian tahapan pemrosesan mulai dari input data dan pengecekan kembali oleh operator, dilanjutkan dengan verfikasi dan aproval oleh pemangku kepentingan seperti dinas pendidikan kabupaten/kota, hingga sistem data base pusat.

Keterlambatan pemrosesan dapat disebabkan karena beberapa hal seperti, dinas pendidikan kabupaten/kota terlambat melakukan verifikasi, data tak kunjung diaproval oleh sistem pusat dan yang terakhir NUPTK tidak terbit atau terlambat terbit meskipun keseluruhan proses kepengurusan telah selesai dilakukan.

Kedua, kepengurusan NUPTK terbentur syarat utama untuk memiliki NUPTK yakni guru honorer harus memiliki ijasah S1. Artinya mereka yang belum berkualifikasi S1 jangan bermimpi untuk memiliki NUPTK.

Pertanyaannya, apakah masih ada guru honor di Indonesia yang saat ini mengajar dengan ijasah SMA atau diploma? jawabannya, Iya, masih ada. Di kampung – kampung, di desa terpencil, di pinggiran kota, guru honor seperti itu masih ada, bahkan tak terhitung jumlahnya.

Apakah stok guru dengan kualifikasi S1 di negara kita ini masih sangat terbatas?. Tidak!. Negara kita berkelimpahan guru – guru dengan kualifikasi S1 dan S2. Yang menjadi persoalan adalah dari sekian banyak guru dengan kualifikasi S1, hanya sedikit yang terpanggil untuk mau mengabdi di desa, di daerah pinggiran, bahkan jauh ke pedalaman.

Keadaan sekolah – sekolah di pedalaman yang kekurangan bahkan ada yang tidak memiliki tenaga pendidik sama sekali membuat rekan – rekan guru yang hanya lulus SMA dan diploma ini terpanggil untuk membaktikan diri walaupun untuk itu mereka rela dibayar dengan Rp 150.000 sampai dengan Rp. 300.000 per bulan.

Ada begitu banyak guru honorer lulusan SMA dan diploma yang saat ini berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan studi S1 sambil tetap mengajar.

Pemberitaan yang menyebutkan kepemilikan NUPTK sebagai salah satu syarat pembayaran guru honor dari Dana BOS, jelas sangat meresahkan. Mereka dihadapkan pada tiga permasalahan baru yakni keberlangsungan pendidikan siswa, keberlangsungan hidup sendiri, dan kelanjutan studi S1 mereka.

Yang terakhir, mengurus NUPTK tersendat karena keterbatasan sumber daya dan tidak tersedianya jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Akses jaringan dewasa ini merupakan kebutuhan vital, contohnya penggunaan jaringan internet untuk penginputan data pokok pendidikan.

Hal ini membuat guru honorer yang mengabdi di pedalaman terlambat mengakses informasi dan kesulitan mengurus NUPTK. Selain prosesnya berbelit – belit, mereka harus berjalan kaki ke kota untuk mendapatkan jaringan internet.

Penulis sampai dengan hari ini masih diminta bantuan oleh rekan – rekan guru honorer di daerah pedalaman untuk mengerjakan aplikasi dapodik sekolahnya. Persoalannya bukan karena mereka tidak bisa, tetapi karena di tempat mereka tidak tersedia jaringan.

Jika wacana NUPTK menjadi syarat utama pembayaran gaji honorer ini benar – benar terlaksana, dan menilik kendala yang dihadapi guru honorer dalam memperoleh NUPTK, maka pemerintah dalam hal ini Mendikbud Nadiem Makarim, perlu membuat pertimbangan ulang.

Bisa jadi Mas Menteri pada waktu merumuskan wacana syarat pembayaran gaji honorer, perhatiannya lebih fokus pada situasi guru honorer dan lingkungan pendidikan di kota yang tentunya sudah maju dan berbasis IT, sehingga Mas Nadiem lupa kalau rumusan tersebut tidak dapat diterapkan pada guru honorer yang hanya lulusan SMA dan diploma, yang saat ini mengabdi di sekolah terpencil, jauh dari jangkauan transportasi teknologi dan jaringan.

Jika pada akhirnya NUPTK mutlak dipakai sebagai syarat pembayaran gaji guru honorer, maka harapan Mas Menteri, penggunaan dana BOS yang katanya untuk Kesejahteraan Guru Honorer, sama sekali tidak memberi manfaat apa – apa bagi para guru, khususnya guru honorer yang pontang panting mengabdi di pedalaman, meskipun hanya lulus SMA dan diploma. (red. Seword.com)