Social Distancing dan Physical Distancing |
Perbedaan ‘Social Distancing’ dan ‘Physical Distancing’ terkait Kebijakan COVID-19
profesiguru.org - Organisasi kesehatan dunia (WHO) secara resmi mengganti penggunaan frasa "pembatasan sosial / social distancing" menjadi "pembatasan fisik / physical distancing". terkait wabah COVID-19. Berikut penjelasan Perbedaan ‘Social Distancing’ dan ‘Physical Distancing’ terkait Kebijakan COVID-19
Pembatasan sosial atau Social Distancing adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah. Penekanannya bukan hanya jarak fisik antara satu dengan yang lain, tetapi menciptakan kecenderungan menutup diri secara sosial.
Sedangkan Pembatasan Fisik atau Physical Distancing merupakan tindakan menjaga jarak fisik dan mengisolasi diri jika sedang sakit. Menjaga jarak fisik satu dengan lainnya untuk memastikan penyakit tidak menyebar, tanpa terpisah secara sosial. Menjaga jarak 1- 2 meter saat di kerumunan.
Melakukan interaksi sosial seperti biasa namun dengan cara lain yang tidak memerlukan kehadiran fisik secara langsung, seperti melalui media sosial.
Kebijakan ‘Social’ dan ‘Physical Distancing’ Harus Libatkan Tokoh Sampai RT/RW
Pemerintah telah memutuskan social distancing dan physical distancing, harus bisa diterjemahkan dengan bahasa daerah melibatkan tokoh-tokoh di tingkat desa sampai ke Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW) dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, usai mengikuti Rapat Terbatas (ratas) melalui konferensi video, Senin (30/3).
“Tentunya tentang apa itu ancaman virus ini, mulai dari bagaimana cara virus ini menular dan apa langkah-langkah yang kita lakukan agar masyarakat tidak dengan mudah terpapar,” ujar Doni seraya menyebutkan beberapa hal terkait yang harus dilakukan.
Pertama, harus disadari bahwa 90% seseorang terpapar virus ini melalui tangan. “Tangan yang menyentuh bagian tertentu pada beberapa tempat, baik di tempat-tempat umum/fasilitas publik, dan sebagainya, kemudian tangan tersebut menyentuh mata, hidung, dan mulut,” kata Doni.
Menurut Doni, inilah yang menjadi faktor penyebab terbesar seseorang terpapar atau bahkan terinfeksi. “Oleh karenanya imbauan untuk selalu cuci tangan bukan hanya sekadar cuci tangan, tetapi juga tangan kita harus betul-betul bisa dikontrol,” sambung Doni.
Kebiasaan umumnya, Doni menyampaikan untuk selalu menyentuh mata, selalu menyentuh hidung, dan juga selalu menyentuh mulut harus bisa dihentikan sebelum mencuci tangan sampai bersih dengan sabun menggunakan air yang mengalir.
“Demikian juga dampak dari seseorang yang sudah positif terpapar virus melalui batuk dan juga bersin yang berbahaya kepada lingkungan sekitarnya,” katanya.
Untuk itu, Doni menyampaikan pentingnya menjaga jarak adalah hal yang sangat prinsipal dalam melakukan physical distancing ini dan ini hendaknya dilakukan bukan hanya di ruang publik, tetapi juga di seluruh rumah, di setiap warga.
Di antara anggota keluarganya mungkin ada yang baru pulang dari luar, sambung Doni, bisa jadi mungkin bagian tertentu dari badannya telah menyentuh droplet atau mungkin barang-barang yang sudah terpapar oleh virus ini.
“Sehingga mengingatkan satu sama lain adalah hal yang paling penting saat ini, jangan biarkan ada saudara-saudara kita yang lalai dan abai,” ujarnya.
Hal berikutnya lagi, sambung Doni, adalah bagaimana bisa melindungi saudara-saudara lyang termasuk kelompok paling rentan.
“Yang pertama adalah mereka yang berusia lanjut, hal ini harus menjadi prioritas. Karena sebagian besar yang terpapar bahkan mengakibatkan meninggal dunia adalah keluarga kita yang berusia lanjut,” katanya.
Oleh karenanya, menurut Doni, kalau sayang dengan yang berusia lanjut ini jangan disentuh dulu, lakukan upaya pemisahan, baik di dalam rumah maupun mungkin memisahkan pada rumah-rumah yang memang sudah disiapkan untuk isolasi agar kelompok yang rentan ini terutama yang usia lanjut bisa diselamatkan.
“Demikian juga Saudara-saudara kita yang memiliki penyakit penyerta seperti halnya asma, hepatitis, darah tinggi, ginjal, jantung.
Nah, mereka-mereka yang secara sadar atau mungkin tidak begitu mengetahui apa yang menjadi penyakit dirinya hendaknya bisa memastikan, mengetahui, bahwa yang bersangkutan adalah bagian dari kelompok yang rentan tersebut,” ujarnya seraya menyatakan hal itu bisa mendapatkan perlindungan atau mungkin bisa dipisahkan dari keluarga yang lain.
Termasuk juga, menurut Kepala BNPB, saudara-saudara yang secara imunitas mungkin gizinya kurang, sehingga ini juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh.
“Oleh karenanya, sekali lagi, diharapkan seluruh masyarakat harus bersatu padu, harus kompak, harus bisa bergotong-royong, saling memberikan dukungannya kepada satu sama lainnya sehingga segala hal yang dapat mengurangi terjadinya masyarakat kita yang terpapar bisa kita optimalkan,” imbuhnya. (TGH/FID/EN)
Sumber: setkab.go.id